opini

Bukan pengorbanan melainkan perjuangan


Indonesia pada setiap Bulan Agustus dalam hampir semua lini kehidupan terkonsentrasi pada peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia.  Media massa mengangkat tema kemerdekaan lengkap dengan kisah-kisah sejarah beserta tokoh-tokoh  saksi mata dan mengangkat kembali isu-isu "The X-Files".
Slogan-slogan kepahlawanan pun bermunculan dan sengaja diekspos besar-besaran membangkitkan kembali rasa nasionalisme kita. Mari kita mencermati kalimat-kalimat dan petikan-petikan di bawah ini:
  •  "Kemerdekaan ini bukannya didapat dengan mudah, melainkan dengan cucuran darah dan pengorbanan jiwa-raga para pejuang bangsa."
  • "Untuk mengenang jasa dan pengorbanan para pahlawan kemerdekaan mari..."
  • Dan bahkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pahlawan berarti orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran. Jadi ada tiga aspek kepahlawanan, yakni; keberanian, pengorbanan dan membela kebenaran. (LadangNet.Com © 2007-2009 Situs Web Resmi Irwan Prayitno, Prof., Dr., Psi, MSc.)
  • Sedangkan menurut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), pahlawan didefiniskan sebagai sosok orang (biasa) yang tidak egois dan berbuat sesuatu yang luar biasa, memiliki tindakan atau perbuatan (pengorbanan) untuk orang lain, dan adanya penghormatan sebagai imbalan atas pengorbanannya. (LadangNet.Com © 2007-2009 Situs Web Resmi Irwan Prayitno, Prof., Dr., Psi, MSc.)
Kalimat-kalimat di atas sering kita dengar dalam dialog formal maupun informal, bahkan mungkin sering kita ucapkan dan kita menganggap sebagai kalimat yang biasa. Saya merasa terganggu dengan kata pengorbanan. Saya berpendapat bahwa kata tersebut menyiratkan makna "putus asa".
Mari kita sejenak mengira-ira, mencoba memposisikan diri sebagai seorang pejuang kemerdekaan. Renungkan, apakah kalimat-kalimat itu sesuai dengan nurani seorang pejuang?
Kakek saya, bapak dari bapak saya adalah seorang veteran perang kemerdekaan. Pada saat beliau mulai sakit-sakitan dalam usia lanjut, saya sering berkomunikasi dengan beliau. Saya tidak pernah sekalipun mendengar beliau mengucapkan kata berkorban, terpaksa, atau menyesal saat menceritakan perang yang beliau ikuti. Saya menangkap kebanggaan, kepuasan, dan rasa bahagia yang mungkin tak lagi dimiliki oleh generasi saya. Bahkan beliau sering mengatakan:  "opo rumangsamu aku wedi nek arep mangkat perang? Ora babar blas. Kowe ngerti pas arep mangkat perang neng ambarowo, aku karo konco-konco numpak sepur. Sing nguntapno akeh banget podo sorak-sorak neng pinggir rel." (apa kamu kira aku takut berangkat perang? tidak sama sekali. Kamu tahu, saat berangkat perang ke ambarawa aku dan teman-teman naik kereta. Yang mengantar banyak sekali dan bersorak-sorak (red: membakar semangat dan mengelu-elukan) dari pinggir rel.
saya pun membayangkan mungkin apa yang dirasakan kakek saya dan teman-temannya hampir sama dengan saya saat menghadapi proses melahirkan. Saya berbekal semangat bahwa setelah segala kesakitan dan ketakutan yang amat sangat, hidup saya akan lebih bermakna dengan hadirnya seorang anak atau hidup sayaberpindah ke alam barzah.
Jadi, bagaimana menurut anda?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar